Menurut cerita, pada zaman dahulu sebelum ada nama banyumas, kota banyumas disebut orang “SELARONG”. Suatu ketika kota selarong kedatangan seorang tamu yang mengendarai kuda. Selama di kota selarong orang tersebut menjadi perhatian penduduk karena tingkah lakunya yang aneh, sehingga meresahkan masyarakat. Karena itu penguasa praja setempat segera mengamankan dan memasukkan orang asing itu kerumah tahanan.
Suatu ketika kota selarong dilanda kemarau panjang. Sumur penduduk banyak yang kering. Bahkan kali serayu juga airnya semakin surut. Untuk mendapatkan air orang harus bersusah payah membuat belik, yaitu menggali tanah di tepi kali. Itupun harus bergantian. Seacara kebetulan saat orang asing tadi dipenjarakan nampak awan hitam di langit bergumpal-gumpal menyelimuti kota selarong. Tak lama kemudian hujan turun dengan lebatnya. Bukan main gembiranya penduduk kota selarong bagaikan mendapat emas. Karena gembiranya mereka berteriak-teriak “BANYU,BANYU,BANYU”. Dan yang lain mengatakan “EMAS,EMAS,EMAS”. Perkataan itu diucapkan secara serempak sehingga lama-kelamaan ucapan mereka terdengar BANYU-EMAS,BANYU-EMAS. Sejak saat itu orang lebih serring memnyebut kota itu Banyumas. Banyumas artinya air bagaikan emas.
Melihat keadaan masyarakat sudah tenang penguasa segera membebaskan orang itu dari tahanan. Orang asing tersebut berjalan ke barat menuju bukit di dukuh dawuhan. Di sana ia berguru kepada seorang sakti yang konon bernama Embah Galagamba. Iapun lama tinggal di padepokan dawuhan hingga akhir hayatnya. Di komplek pesarean dawuhan banyumas terdapat dua buah makam yang konon makam embah galagamba dan muridnya tadi.
BABAD AJIBARANG
Negeri Galuh Pakuan sedang dilanda cobaan berat. Musim kemarau yang berkepanjangan menimbulkan kesengsaraan rakyat. Wabah penyakit dan tindak kriminal meningkat. Sementara para punggawa dan hulubalang belum mampu menghadapinya. Arya Munding Wilis yang menjadi Adipati kala itu memang sedang diuji.
Belum selesai mengatasi kesulitan yang satu timbul masalah yang lain. dalam kesedihan menghadapi negeri yang sedang terancam itu, isterinya yang sedang hamil menginginkan daging kijang berkaki putih. Demi cintanya kepada Sang isteri, berangkatlah Sang Adipati Munding Wilis dengan Kuda Dawuk Ruyung kesayangannya. Hanya ditemani dua pengawalnya, berhari-hari Sang Adipati tak mengenal lelah dalam mencari buruannya itu. Namun sudah sampai sebulan belum juga nampak hasilnya.
Ketika mereka berburu kearah timur menyusuri Sungai Citandui sampailah Sang Adipati beserta dua pengawalnya di suatu grumbul. Ternyata Adipati beserta dua pengawalnya itu sampai di sebuah perkampungan para brandal yang sering mengacau di seluruh kadipatennya. Di Grumbul Gunung Mruyung tersebut sang adipati terpojok dan dirampok oleh dedengkot grumbul itu yaitu Abulawang. Seluruh bawaan bahkan kuda Sang Adipati dirampas dan sang dedengkot mengancam akan merampok dan menghancurkan kadipatennya. Adipati yang sedang kecewa karena tidak mendapat buruannya pulang dengan kesedihan yang lebi mendalam ke kadipatennya.
Sampainya di kadipaten, kesedihan sang Adipati terobati karena putera yang ditungu tungu sudah lahir kedunia. Semakin gembiralah ia setelah ditunjukkan adanya tanda hitam di lengan kiri bayi itu, yang konon merupakan “toh wisnu”. Artinya bayi ini kelak akan menjadi seorang yang besar yang berbudi luhur dan bijaksana.
Ternyata kegembiraan di Kadipaten itu tak berlangsung lama. Pada malam keempat kelahiran sang jabang bayi, perampok gerombolan dari Gunung Mruyung dedengkot Abulawang benar-benar datang dan menghancurkan Kadipaten. Prajurit dan pengawal tidak bisa melawan gerombolan tersebut, semua barang dirampok dan Kadipaten dibakar.
Untunglah sang Adipati dan Gusti putri selamat. Namun nasib bayi yang ditunggui oleh dua orang emban tidak demikian. Bayi itu dibawa oleh salah seorang perampok ke Gunung Mruyung tempat markas mereka. Adipati dan gusti putri lemas, bahkan gusti putri pingsan.
Suatu Ketika, Adipati Munding Wilis dan istrinya menyamar sebagai petani, pergi meninggalkan Kadipaten. Semula mereka bertekad ke Gunung Mruyung, tempat perkampungan para perampok untuk mencari bayinya. Namun niatnya diurungkan karena terlalu bahaya, merekapun berjalan ke arah lain.
Bayi yang masih merah itu, sudah sampai di Gunung Mruyung. Bertahun-tahun bayi tersebut tumbuh menjadi pemuda gagah dan tampan, sifatnya baik berbeda dengan orang tua angkatnya yang perampok. Pemuda itu dinamai Jaka Mruyung. Karena tidak senang dengan sikap dan tingkah laku orang tuanya maka dia pergi meninggalkan Gunung Mruyung.
Jaka Mruyung pergi dengan Kuda Dawuk Ruyung, yang dimiliki orang tua angkatnya, kuda tersebut sebenarnya adalah kuda milik ayah kandungya Adipati Munding Wilis. Jaka Mruyung tiba disuatu kampung di kawasan “Dayeuhluhur” dan bertemu seorang kakek. Ternyata kakek tersebut bukan kakek sembarangan. Dia adalah Ki Meranggi, seorang mantan prajurit sakti Kerajaan Majapahit dan kini menjadi seorang Mranggi (pembuat rangka keris). Jaka mruyung mengabdi di rumah Ki Mranggi, dan selama pengabdiannya dia banyak mendapat pengalaman yaitu baca, tulis, membuat keris dan ilmu keprajuritan serta kedigdayaan. Semua ilmu tersebut dikuasainya dalam waktu empat tahun. Pada tahun ke enam, Jaka Mruyung seolah mendapat ilham agar meneruskan perjalan ke timur dan disana dia menemukan hutan yang ditumbuhi pohon Pakis Aji dan kelak hutan tersebut dibabat dan dijadikan perkampungan. Jaka Mruyung pun pamit dan berpesan pada Ki Mranggi agar pedukuhan ini sepeninggalnya kelak diberi nama Dukuh Penulisan karena ditempat inilah dia belajar menulis.
Setelah menempuh perjalanan jauh, sampailah dia di perbatasan Kadipaten Kutanegara. Ditempat itu iapun melepas lelahnya sambil memuji keagungan Tuhan ia menyaksikan keindahan alam di sekitarnya. Si Dawuk Ruyung, kudanya yang sudah tua itu makan rumput sekenyang-kenyangnya. Jaka Mruyung memandang rumput hijau itu bagaikan permadani yang Gumelar (digelar dalam bahasa Jawa). Tempat itu kemudian nantinya disebut Desa Gumelar. Di tempat ini dia bertemu dengan pemuda dari Dukuh Cilangkap. Dari pemuda ini dia akhirnya tahu letak Hutan Pakis Aji yang ada dalam ilhamnya. Setelah dia melakukan perjalanan dan singgah sejenak di Dukuh Cilangkap, dia terus melanjutkan perjalanan menuju Hutan Pakis Aji. Hutan tersebut ternyata berada di Selatan Kutanegara dan sebelah timur Dukuh Cilangkap.
Sementara itu, perjalanan Adipati Munding Wilis dan istrinya yang menyamar menjadi Ki Sandi dan Ni Sandi tiba di Dukuh Penulisan, Daerah Daeyuhluhur . Kebetulan keduanya singgah pula di rumah Ki Mranggi. Mereka bertukar pengalaman. Alangkah gembiranya kedua tamu tersebut demi mendengar cerita Ki Mranggi, mereka yakin apa yang diceritakan Ki Mranggi itu ciri-ciri anaknya( dengan Toh Wisnu di Tanggannya). Mereka semakin gembira karena Ki Mranggi juga mengatakan kemana arah peginya anak mereka Jaka Mruyung. Semenjak Pergi dari Negerinya Galuh Pakuan, Adipati Mundig Wilis dan istrinya memang selalu bedoa agar bisa dipertemukan dengan anaknya. Dan memang sudah digariskan bahwa mereka berdua pun sampai di Dukuh Cilangkap dan bertemu dengan orang tua Tlangkas ,pemuda yang pernah memberikan petunjuk kepada Jaka Mruyung.
Ki Sandi alias Adipati Wilis pun tambah gembira karena harapanya semakin dekat terkabul. Sedang Jaka Mruyung kini sudah sampai di kaki bukit sebelah barat Hutan Pakis Aji. Di situ ia terus ke selatan dan menyebarangi sungai yang airnya Racak-racak, sungai itu kemudian dinamai Kali Racak. Di pinggir bukit itu ia melihat pohon yang berbuah sangat banyak, lalu ia bertanya pada orang yang lewat, Apa nama buah itu, orang itu malah menjawab dengn basa sunda, “Ie mah Gondangamis” artinya ini buah gondang yang manis. Kelak tempat itu menjadi Grumbul Gondangamis.
Dari situ dia terus menyusuri pinggiran hutan ke timur, ternyata tempat yang disinggahinya banyak dihuni burung Jalak. Tempat itu nantinya diberi nama Pejalakan. Lalu dia sampai dibelokan kali datar, dia menemukan sebuah kedung, diatasnya banyak burung serwiti, Kedung itu kemudian di beri nama Kedung Serwiti. Setelah mengelilingi Hutan Pakis aji, sampailah dia dipinggiran utara, ia melihat orang-orang sedang membuat tambak ikan. Jaka Mruyung segera meminta bantuan orang-orang untuk bersama-sama membabat hutan Pakis Aji. Kelak Dusun itu menjadi Dusun Tambakan.
Di tengah hutan muncul ular raksasa, namun berhasil dibunuh oleh Jaka Mruyung dan orang-orangnya dan dibakar. Namun akibatnya hutan Pakis aji menjadi terbakar, kebakaran begitu hebatnya sehingga membuat resah kadipaten Kutanegara. Jaka Mruyung sang biang keladi pun ditangkap dan dihukum. Pada masa hukumannya itu ternyata Jaka Mruyung yang tampan, sopan dan baik hati di sukai oleh putri kedua sang Adipati yaitu Putri Pandanayu. Setelah beberapa lama,Jaka Mruyung pun dibebaskan.
Kemudian dia mengikuti sayembara di Kadipaten Kutanegara tersebut. Sayembara itu untuk mencari Senopati Utama yang baru. Jaka mruyung ikut sayembara, dengan kesaktiannya dia memenangkan banyak pertarungan dan pada akhirnya dia harus melawan musuh terkuat yaitu duta dari Kadipaten Kutaliman, bernaman Ki Kentol. Perseteruan antara Jaka Mruyung dan Ki Kentol yang berlarut-larut, nantinya menjadi momok yaitu siapa saja Pejabat yang datang ke Kutaliman pasti akan lengser. Jaka Mruyung yang memenangkan sayembara dijadikan Senopati Utama dan dinikahkan dengan putri kedua Adipati yaitu Pandanayu.
Berita tersebut ahirnya sampai ke Tlangkas dan orang tuanya dan kemudian sampai ke telinga tamu mereka Ki Sandi yang tak lain adalah Adipati Munding Wilis ayah Jaka MRuyung, Raja atau Adipati Besar dari Galuh Pakuan. Adipati lalu membuka jati dirinya dan menemui Adipati Kutanegara. Betapa senangnya Adipati Kutanegara, ternyata calon mantunya adalah anak Adipati Besar dari Galuh Pakuan.
Haru dan Bahagia pun berkecamuk diantara mereka. Acara Pernikahan segera dilakukan, namun di saat berlangsungnya pernikahan terjadi kehebohan. Hal ini kaerna putri pertama Adipati Kutanegara yaitu Dewi Pandansari minggat, karena malu telah dilangkahi. Dia bertapa disebuah kali, dia bertapa merendam, yang tentu saja tubuhnya yang indah itu tidak ditutupi oleh apapun. Tidak heran banyak lelaki berdatangan ingin melihat. Putri lalu berkata pada biyung embannya agar disampaikan ke ayahnya, supaya Kali tersebut dinamai Kali Luwih Laki, yang kemudian berubah menjadi Kali Wilaki. Dewi Pandansari itupun meninggal dikali dan dikuburkan disawah pinggir sungai tersebut. Kuburan itu terkenal dengan sebutan Kuburan Pandansari.
Bertahun-tahun dari peristiwa itu, Adipati Kutanegara, Adipati Nglangak itupun semakin lanjut usia. Jaka mruyung pun menggantikannya dan diangkat sebagai adipati Kutanegara. Namun Jaka Mruyung yang tinggal di Kadipaten Kutanegara itu tidak betah di Kadipaten Kutanegara. Dia Menginginkan pindah, lalu dia pun teringat ilham yang diperolehnya saat dia muda. Dia kemudian pindah ke hutan yang telah ia babat yaitu Hutan Pakis Aji. Maka ibukota Kadipaten Kutanegara dipindah ke Hutan Pakis Aji dan disebut AJIBARANG sehingga kadipaten berubah menjadi Kadipaten AJIBARANG.
BABAD PASIR LUHUR
Suatu ketika kota selarong dilanda kemarau panjang. Sumur penduduk banyak yang kering. Bahkan kali serayu juga airnya semakin surut. Untuk mendapatkan air orang harus bersusah payah membuat belik, yaitu menggali tanah di tepi kali. Itupun harus bergantian. Seacara kebetulan saat orang asing tadi dipenjarakan nampak awan hitam di langit bergumpal-gumpal menyelimuti kota selarong. Tak lama kemudian hujan turun dengan lebatnya. Bukan main gembiranya penduduk kota selarong bagaikan mendapat emas. Karena gembiranya mereka berteriak-teriak “BANYU,BANYU,BANYU”. Dan yang lain mengatakan “EMAS,EMAS,EMAS”. Perkataan itu diucapkan secara serempak sehingga lama-kelamaan ucapan mereka terdengar BANYU-EMAS,BANYU-EMAS. Sejak saat itu orang lebih serring memnyebut kota itu Banyumas. Banyumas artinya air bagaikan emas.
Melihat keadaan masyarakat sudah tenang penguasa segera membebaskan orang itu dari tahanan. Orang asing tersebut berjalan ke barat menuju bukit di dukuh dawuhan. Di sana ia berguru kepada seorang sakti yang konon bernama Embah Galagamba. Iapun lama tinggal di padepokan dawuhan hingga akhir hayatnya. Di komplek pesarean dawuhan banyumas terdapat dua buah makam yang konon makam embah galagamba dan muridnya tadi.
BABAD AJIBARANG
Negeri Galuh Pakuan sedang dilanda cobaan berat. Musim kemarau yang berkepanjangan menimbulkan kesengsaraan rakyat. Wabah penyakit dan tindak kriminal meningkat. Sementara para punggawa dan hulubalang belum mampu menghadapinya. Arya Munding Wilis yang menjadi Adipati kala itu memang sedang diuji.
Belum selesai mengatasi kesulitan yang satu timbul masalah yang lain. dalam kesedihan menghadapi negeri yang sedang terancam itu, isterinya yang sedang hamil menginginkan daging kijang berkaki putih. Demi cintanya kepada Sang isteri, berangkatlah Sang Adipati Munding Wilis dengan Kuda Dawuk Ruyung kesayangannya. Hanya ditemani dua pengawalnya, berhari-hari Sang Adipati tak mengenal lelah dalam mencari buruannya itu. Namun sudah sampai sebulan belum juga nampak hasilnya.
Ketika mereka berburu kearah timur menyusuri Sungai Citandui sampailah Sang Adipati beserta dua pengawalnya di suatu grumbul. Ternyata Adipati beserta dua pengawalnya itu sampai di sebuah perkampungan para brandal yang sering mengacau di seluruh kadipatennya. Di Grumbul Gunung Mruyung tersebut sang adipati terpojok dan dirampok oleh dedengkot grumbul itu yaitu Abulawang. Seluruh bawaan bahkan kuda Sang Adipati dirampas dan sang dedengkot mengancam akan merampok dan menghancurkan kadipatennya. Adipati yang sedang kecewa karena tidak mendapat buruannya pulang dengan kesedihan yang lebi mendalam ke kadipatennya.
Sampainya di kadipaten, kesedihan sang Adipati terobati karena putera yang ditungu tungu sudah lahir kedunia. Semakin gembiralah ia setelah ditunjukkan adanya tanda hitam di lengan kiri bayi itu, yang konon merupakan “toh wisnu”. Artinya bayi ini kelak akan menjadi seorang yang besar yang berbudi luhur dan bijaksana.
Ternyata kegembiraan di Kadipaten itu tak berlangsung lama. Pada malam keempat kelahiran sang jabang bayi, perampok gerombolan dari Gunung Mruyung dedengkot Abulawang benar-benar datang dan menghancurkan Kadipaten. Prajurit dan pengawal tidak bisa melawan gerombolan tersebut, semua barang dirampok dan Kadipaten dibakar.
Untunglah sang Adipati dan Gusti putri selamat. Namun nasib bayi yang ditunggui oleh dua orang emban tidak demikian. Bayi itu dibawa oleh salah seorang perampok ke Gunung Mruyung tempat markas mereka. Adipati dan gusti putri lemas, bahkan gusti putri pingsan.
Suatu Ketika, Adipati Munding Wilis dan istrinya menyamar sebagai petani, pergi meninggalkan Kadipaten. Semula mereka bertekad ke Gunung Mruyung, tempat perkampungan para perampok untuk mencari bayinya. Namun niatnya diurungkan karena terlalu bahaya, merekapun berjalan ke arah lain.
Bayi yang masih merah itu, sudah sampai di Gunung Mruyung. Bertahun-tahun bayi tersebut tumbuh menjadi pemuda gagah dan tampan, sifatnya baik berbeda dengan orang tua angkatnya yang perampok. Pemuda itu dinamai Jaka Mruyung. Karena tidak senang dengan sikap dan tingkah laku orang tuanya maka dia pergi meninggalkan Gunung Mruyung.
Jaka Mruyung pergi dengan Kuda Dawuk Ruyung, yang dimiliki orang tua angkatnya, kuda tersebut sebenarnya adalah kuda milik ayah kandungya Adipati Munding Wilis. Jaka Mruyung tiba disuatu kampung di kawasan “Dayeuhluhur” dan bertemu seorang kakek. Ternyata kakek tersebut bukan kakek sembarangan. Dia adalah Ki Meranggi, seorang mantan prajurit sakti Kerajaan Majapahit dan kini menjadi seorang Mranggi (pembuat rangka keris). Jaka mruyung mengabdi di rumah Ki Mranggi, dan selama pengabdiannya dia banyak mendapat pengalaman yaitu baca, tulis, membuat keris dan ilmu keprajuritan serta kedigdayaan. Semua ilmu tersebut dikuasainya dalam waktu empat tahun. Pada tahun ke enam, Jaka Mruyung seolah mendapat ilham agar meneruskan perjalan ke timur dan disana dia menemukan hutan yang ditumbuhi pohon Pakis Aji dan kelak hutan tersebut dibabat dan dijadikan perkampungan. Jaka Mruyung pun pamit dan berpesan pada Ki Mranggi agar pedukuhan ini sepeninggalnya kelak diberi nama Dukuh Penulisan karena ditempat inilah dia belajar menulis.
Setelah menempuh perjalanan jauh, sampailah dia di perbatasan Kadipaten Kutanegara. Ditempat itu iapun melepas lelahnya sambil memuji keagungan Tuhan ia menyaksikan keindahan alam di sekitarnya. Si Dawuk Ruyung, kudanya yang sudah tua itu makan rumput sekenyang-kenyangnya. Jaka Mruyung memandang rumput hijau itu bagaikan permadani yang Gumelar (digelar dalam bahasa Jawa). Tempat itu kemudian nantinya disebut Desa Gumelar. Di tempat ini dia bertemu dengan pemuda dari Dukuh Cilangkap. Dari pemuda ini dia akhirnya tahu letak Hutan Pakis Aji yang ada dalam ilhamnya. Setelah dia melakukan perjalanan dan singgah sejenak di Dukuh Cilangkap, dia terus melanjutkan perjalanan menuju Hutan Pakis Aji. Hutan tersebut ternyata berada di Selatan Kutanegara dan sebelah timur Dukuh Cilangkap.
Sementara itu, perjalanan Adipati Munding Wilis dan istrinya yang menyamar menjadi Ki Sandi dan Ni Sandi tiba di Dukuh Penulisan, Daerah Daeyuhluhur . Kebetulan keduanya singgah pula di rumah Ki Mranggi. Mereka bertukar pengalaman. Alangkah gembiranya kedua tamu tersebut demi mendengar cerita Ki Mranggi, mereka yakin apa yang diceritakan Ki Mranggi itu ciri-ciri anaknya( dengan Toh Wisnu di Tanggannya). Mereka semakin gembira karena Ki Mranggi juga mengatakan kemana arah peginya anak mereka Jaka Mruyung. Semenjak Pergi dari Negerinya Galuh Pakuan, Adipati Mundig Wilis dan istrinya memang selalu bedoa agar bisa dipertemukan dengan anaknya. Dan memang sudah digariskan bahwa mereka berdua pun sampai di Dukuh Cilangkap dan bertemu dengan orang tua Tlangkas ,pemuda yang pernah memberikan petunjuk kepada Jaka Mruyung.
Ki Sandi alias Adipati Wilis pun tambah gembira karena harapanya semakin dekat terkabul. Sedang Jaka Mruyung kini sudah sampai di kaki bukit sebelah barat Hutan Pakis Aji. Di situ ia terus ke selatan dan menyebarangi sungai yang airnya Racak-racak, sungai itu kemudian dinamai Kali Racak. Di pinggir bukit itu ia melihat pohon yang berbuah sangat banyak, lalu ia bertanya pada orang yang lewat, Apa nama buah itu, orang itu malah menjawab dengn basa sunda, “Ie mah Gondangamis” artinya ini buah gondang yang manis. Kelak tempat itu menjadi Grumbul Gondangamis.
Dari situ dia terus menyusuri pinggiran hutan ke timur, ternyata tempat yang disinggahinya banyak dihuni burung Jalak. Tempat itu nantinya diberi nama Pejalakan. Lalu dia sampai dibelokan kali datar, dia menemukan sebuah kedung, diatasnya banyak burung serwiti, Kedung itu kemudian di beri nama Kedung Serwiti. Setelah mengelilingi Hutan Pakis aji, sampailah dia dipinggiran utara, ia melihat orang-orang sedang membuat tambak ikan. Jaka Mruyung segera meminta bantuan orang-orang untuk bersama-sama membabat hutan Pakis Aji. Kelak Dusun itu menjadi Dusun Tambakan.
Di tengah hutan muncul ular raksasa, namun berhasil dibunuh oleh Jaka Mruyung dan orang-orangnya dan dibakar. Namun akibatnya hutan Pakis aji menjadi terbakar, kebakaran begitu hebatnya sehingga membuat resah kadipaten Kutanegara. Jaka Mruyung sang biang keladi pun ditangkap dan dihukum. Pada masa hukumannya itu ternyata Jaka Mruyung yang tampan, sopan dan baik hati di sukai oleh putri kedua sang Adipati yaitu Putri Pandanayu. Setelah beberapa lama,Jaka Mruyung pun dibebaskan.
Kemudian dia mengikuti sayembara di Kadipaten Kutanegara tersebut. Sayembara itu untuk mencari Senopati Utama yang baru. Jaka mruyung ikut sayembara, dengan kesaktiannya dia memenangkan banyak pertarungan dan pada akhirnya dia harus melawan musuh terkuat yaitu duta dari Kadipaten Kutaliman, bernaman Ki Kentol. Perseteruan antara Jaka Mruyung dan Ki Kentol yang berlarut-larut, nantinya menjadi momok yaitu siapa saja Pejabat yang datang ke Kutaliman pasti akan lengser. Jaka Mruyung yang memenangkan sayembara dijadikan Senopati Utama dan dinikahkan dengan putri kedua Adipati yaitu Pandanayu.
Berita tersebut ahirnya sampai ke Tlangkas dan orang tuanya dan kemudian sampai ke telinga tamu mereka Ki Sandi yang tak lain adalah Adipati Munding Wilis ayah Jaka MRuyung, Raja atau Adipati Besar dari Galuh Pakuan. Adipati lalu membuka jati dirinya dan menemui Adipati Kutanegara. Betapa senangnya Adipati Kutanegara, ternyata calon mantunya adalah anak Adipati Besar dari Galuh Pakuan.
Haru dan Bahagia pun berkecamuk diantara mereka. Acara Pernikahan segera dilakukan, namun di saat berlangsungnya pernikahan terjadi kehebohan. Hal ini kaerna putri pertama Adipati Kutanegara yaitu Dewi Pandansari minggat, karena malu telah dilangkahi. Dia bertapa disebuah kali, dia bertapa merendam, yang tentu saja tubuhnya yang indah itu tidak ditutupi oleh apapun. Tidak heran banyak lelaki berdatangan ingin melihat. Putri lalu berkata pada biyung embannya agar disampaikan ke ayahnya, supaya Kali tersebut dinamai Kali Luwih Laki, yang kemudian berubah menjadi Kali Wilaki. Dewi Pandansari itupun meninggal dikali dan dikuburkan disawah pinggir sungai tersebut. Kuburan itu terkenal dengan sebutan Kuburan Pandansari.
Bertahun-tahun dari peristiwa itu, Adipati Kutanegara, Adipati Nglangak itupun semakin lanjut usia. Jaka mruyung pun menggantikannya dan diangkat sebagai adipati Kutanegara. Namun Jaka Mruyung yang tinggal di Kadipaten Kutanegara itu tidak betah di Kadipaten Kutanegara. Dia Menginginkan pindah, lalu dia pun teringat ilham yang diperolehnya saat dia muda. Dia kemudian pindah ke hutan yang telah ia babat yaitu Hutan Pakis Aji. Maka ibukota Kadipaten Kutanegara dipindah ke Hutan Pakis Aji dan disebut AJIBARANG sehingga kadipaten berubah menjadi Kadipaten AJIBARANG.
BABAD PASIR LUHUR
Kisah ini menceritakan tentang perjuangan Raden Banyak Catra, putra Prabu Siliwangi Raja Pajajaran. Dikisahkan saat itu Raden Banyak Catra dipersiapkan untuk menggantikan kedudukan ayahnya menjadi raja. Namun syarat untuk menjadi raja, Raden Banyak Catra harus memiliki istri terlebih dahulu. Akhirnya Raden Banyak catra pergi mengembara untuk mencari pendamping hidup.
Raden Banyak Catra menyamar sebagai rakyat jelata dan berganti nama menjadi Kamandaka. Kamandaka pergi ke Pasir Luhur, sebuah Kadipaten yang dipimpin oleh Adipati Kandhadhaha. Kedatanannya ke Pasirluhur adalah untuk menemui Dewi Ciptarasa, putri bungsu sang Adipati. Singkat cerita kemudian Kamandaka di angkat sebagai anak oleh Reksanata, Patih Pasir Luhur.
Hasrat Raden Kamandaka untuk melihat wajah Putri Dewi Ciptarasa dapat terkabul ketika Adipati Kandhadhaha mengadakan hiburan dengan mengadakan penangkapan ikan di sungai secara beramai-ramai.
Pertemuan Raden Kamandaka dengan Dewi Ciptarasa berlanjut dengan jalinan cinta. Suatui ketika Raden Kamandaka mengunjungi Dewi Ciptarasa di Kadipaten Pasirluhur. Namun pertemuan itu dipergoki oleh kakak Ciptarasa. Bagi sang Adipati Kandhadhaha, perbuatan Kamandaka telah mencoreng mukanya karena sebagai seorang rakyat jelata bercengkrama dengan Putri Dewi Ciptarasa. Kemudian Patih dipanggil oleh Adipati Kandhadhaha dan perintahkan untuk membunuh Kamandaka. Sebagai seorang ayah, Patih Reksananta bingung untuk melaksanakan tugas ini.
Raden Kamandaka dikekar-kejar oleh Prajurit Kadipaten, kemudian Raden Kamandaka terjun ke sungai dan bersembunyi dalam gua di sungai itu. Para Prajurit Kadipaten melempari batu ke tempat Raden Kamandaka menceburkan diri. Setela beberapa waktu tidak muncul, mereka mengira Raden Kamandaka telah tewas tenggelam di sungai itu. Apalagi mereka melihat usus terapung di sungai, mereka mengira usus ayam yang terapung itu adalah ususnya Raden Kamandaka.
Para prajurit kemudian pulang untuk melaporkan kejadian itu kepada Sang Adipati. Sampai sekarang lubuk tempat Raden Kamandaka terjun dikenal dengan anama “Kedhung Petaunan” di sungai logawa, 3 Km sebelah Batrat Kota Purwokerto.
1. Terhindar dari bahaya.
Raden Kamandaka bersembunyi di sebuah kedung terus menyusup ke gua dan akhirnya sampai di tempuran sungai logawa. Tempat tersebut sampai sekarang disebut “Surup lawang” yaitu pertemuan antara sungai Logawa dengan Sungai Serayu di sebelah selatan Purwokerto.
Dengan menyusuri sungai Logawa, samapailah Raden Kamandaka ke kadipaten Pasirluhur. Selanjutnya ia menumpang dirumas seorang janda yang tidak mempunyai anak yaitu Nyi Kartisara, yang pekerjaannya menjual daun pisang.
Raden Kamandaka memakai nama samaran “si Sulap”. Kegemarannya memelihara ayam jantan untuk di adu. Kemudian tempat tingal Si Sulap terkenal dengan nama “Kurung Ayam”. Ayam jago Si Sulap yang terbaik dinamakan “Mercu”. Sulap mendapatkan seorang kawan bernama Ki Reksajaya, berasal dari Losari, orang yang cacad jasmaninya. Tempat yang terkenal untuk menyabung ayam pada waktu itu adalah Pangebatan.
Semetara itu Prabu Siliwangi di Pajajaran merasa gerlisah demi menunggu Raden Kamandaka tidak kunjung pulang. Kemudian beliau memerintahklan putranya Raden Gagak Ngampar, adik Kamandaka, yang sedang bertapa untuk mecari kakaknya Raden Kamandaka.
Akhirnya Raden Banyak Ngampar pergi meninggalkan Pajajaran dengan memakai nama samaran Raden Silihwarni. Beliau sampai ke daerah Pasirluhur dan langsung menuju Kadipaten Pasirluhur untuk mengabdikan diri. Permohonan itu dikabulkan oleh Sang Adipati dan diangkat menjadi prajurit.
Selang beberapa waktu terdengar kabar bahwa Kamandaka masih hidup dan berada di suatu desa sebagai penyabung ayam. Adipati Kandadaha menjadi murka, akhirnya membuat sayembara untuk membunuh Kamandaka.
Raden Silihwarni menyatakan sanggup melaksanakan sayembara tersebut. Raden Silihwarni sama sekali tidak tahu bahwa Kamandaka adalah Raden Banyak Catra, kakak kandungnya sendiri.
Raden Silihwarni datang ketempat sabung ayam dengan membawa ayam jago yang dikakinya sudah dipasangi Patrem (Keris kecil) pada taji jagonya. Pada saat berhadapan dengan Raden Kamandaka, Raden Silihwarni melemparkan jagonya ke arah Raden Kamandaka. Lambung kiri Kamandaka luka tersabet keris patrem yang berada di kaki jago. Raden Kamandaka marah sekali dan ayam jago yang melukai tadi langsung ditangkap dan dibanting hinga mati.
Pertengkaran terjadi dan Raden Silihwarni terkena tusukan keris di kkan lambung hingga pingsan. Pengikut Raden Silihwarni yang bernama Ki Nitipraga tertusuk keris Raden Kamandaka sampai tewas. Kemudian Raden Kamandaka meninggalakan tempat sabung ayam itu dengan diikluti Ki Reksajaya.
Setelah peristiwa sabung ayam itu Raden Kamandaka dikejar-kejar oleh prajurit Pasirluhur dibawah pimpinan Raden Silihwarni. Raden Kamandaka dapat terkejar oleh Raden Silihwarni dan terjadilah perkelahian sengit antara kedua bersaudara yang masing-masing sudah tidak mengenal lagi. Tempat perkelahian tersebut dinamakan “Pejogol”. Pengejaran terus dilakukan bahkan dibantu oleh prajurit menantu Adipati Mersi. Raden Kamandaka lari ke arah timur menuju kota Purwokerto. Samapai di suatu tempat, Raden Kamandaka jatuh dan terluka. Tempat dimana dia jatuh akhirna dinamakan sungai “Bodas”.
Perjalanan terus dilakukan. Ketika samapai di sebuah sungai Raden Kamandaka membasuh lukanya, darah keluar dengan derasnya sehingga tempai itu dinamakan sungai “Bancaran” yang kemudian menjadi “Banjaran”. Untuk melihat datangnya musuh, Raden Kamandaka naik ke lereng sungai Banajaran. Tempat ini kemudian dinamakan “Sawangan” (Nyawang ; bahasa Jawa).
Raden Kamandaka melanjutkan perjalanan ke arah utara, kemudian be istirahat di suatu tempat, yang kemudian dinamakan “Kober” (Semapat : bahasa Jawa). Letak desa tersebut di dekat Stasiun Purwokerto. Kemudian melanjutkan perjalanan menembus hutan belukar hingga sulit diikuti oleh prajurit Pasirluhur. Desa tempat menerobos hutan belukar kemudian dinamakan “Bobosan” (nerobos/menyusup). Dengan kekuatan batin Raden Kamandaka mengetahui bahwa muhnya menggunakan anjing sebagai pelacak, sehingga dia juga melepas anjing untuk menangkap anjing pelacak. Anjing musuh dapat ditangkap dan dikurung di suatu daerah yang dinamakan “Kurung anjing”, kemudian menjadi Karanganjing. Letaknya disebelah timur Bobosan, sekarang termasuk dalam Kelurahan Purwonerogo.
Para prajurit berjaga-jaga menantikan suara anjingnya menyalak, namun sampai pagi hari tidak terdengar suara anjing menyalak. Kemudian mereka mengetahui bahwa Raden Kamandaka telah menyeberangi sungi Banjaran menuju barat. Mereka mengejar Raden Kamandaka sampai disuatu daerah , karena kemarahannya seperi banteng ketaton, maka daerah itu dinamakan desa “Kedungbanteng”.
Di desa Kedunbanteng terdapat batu sebesar rumah yang dikenal dengan nama “Watu sinom”. Raden Kamandaka naik ke atas batu tersebut sambil menantang Raden Silihwarni yang tidak lain adalah Raden Gagak Ngampar, adik kandung Raden Kamandaka sendiri.
Raden Kamandaka terkejut begitu melihat Raden Silihwarni mengeluarkan keris Kyai Mojang Pamungkas yang merupakan pusaka Kerajaan Pajajaran. Saat itu terbongkar bahwa ternyata Raden Silihwarni adalah adik kandung Kamandaka.
Raden Silihwarni kemudian menceritakan maksud kedatangan ke Pasirluhur adalah atas perintah Ayahanda untuk mencarikan kakaknya yang akan dinobatkan menggantikan Ayahanda bertahta di Pajajaran.
Kemudian dibuat sekenario, Ki Reksajaya diperintahkan pergi ke Karanganjing untuk membunuh seekor anjing yang dikurung disana guna diambil hati dan darahnya untuk diserahkan ke Adipati Mersi sebagai bukti kematian Kamandaka. Kemudian Raden Kamandaka dan adiknya pulang ke Pajajaran.
Berita tewasnya Raden Kamandaka telah tersiar ke seluruh Kadipaten Pasirluhur. Adipati Pasirluhur merasa puas dan gembira setelah mendengar berita kematian Kamandaka yang disampaikan oleh Adipati Mersi. Namun sebaliknya, Puri Ciptarasa sangat bersedih skaligus ragu mendengar berita itu, karena sudah kedua kalinya Kamandaka diberitakan meninggal dunia.
1. Tahta Kerajaan
Tidak lama kemudan Raden Kamandaka alias Banyak Catra dan Raden Silihwarni alisa Gagak Lampar telah sampai di Istana Pajajaran, diikuti oleh Ki Reksajaya. Menjelang peresmian pergantian tahta Kerajaan Pajajaran yang akan diberikan kepada Banyak Blabur (anak istri ke dua), yang menuntut janji Prabu Siliwangi kepada istri keduanya bahwa kelak putranya yang laki akan diberi kedudukan sebagai Putra Makhota.
Karena harus memilih salah seorang antara Banyak Catra dengan Banyak Blabur, maka Prabu Siliwangi membuat sayembara. Siapa yang dapat menemukan 40 orang putri kembar, maka dialah yang berhak naik tahta. Untuk mencari syarat tersebut, Banyak Blabur pergi kea rah barat ke aerah Banten, sementara Banyak Catra pergi ke arah timur yaitu ke Pasirluhur.
Banyak Catra diringi oleh 2 orang abdinya yaitu Ki Gede Kolot dan Ki Klantung. Setelah sampai di kaki Gunung Slamet kemudian mendirikan sebuah padepokan yang diberi nama Batur Agung.
Menurut wahyu yang diterima, Banyak Catra dianjurkan supaya bertapa di sebelah timur Pasiruhur, yaitu di dekat tempuran sungai Logawa dan Sungai Mengaji. Karena ketekunannya bertapa, Banyak cara memperoleh anugerah dari Dewa berua baju ajaib. Jika baju Tersebut dipakai, maka ia akan berubah menjadi seekor Lutung (kera).
Suatu ketika Raden Kamandaka menemui Dewi Ciptarasa dengan memakai pakaian Lutung. Akhirnya Dewi Ciptarasa tahu bahwa lutung tersebut adalah si Kamandaka. Lutung itu kemudian dipelihara oleh Dewi Ciptarasa sebagai hewan kesayangan yang sewaktu-waktu bisa berubah wujud menjadi Raden Kamandaka.
Sementara itu Raden Pulebahas dari dari Nusakambangan berniat melamar Dewi Ciptarasa. Dewi Ciptarasa bingung menerima lamaran itu. Kamandaka menyarankan agar Dewi Ciptarasa menerima lamaran dari Prabu Pulebahas tersebut dengan dua syarat. Syarat pertama, pada saat pernikahan, Prabu Pulebahas tidak boleh membawa senjata maupun prajurit. Syarat kedua, lutung yang mengiringi Dewi Ciptarasa tidak boleh diganggu.
Syaratnya diterima Prabu Pulebahas dan pernikahan pun dilaksanakan pada waktu yang telah ditentukan. Saat kirab pengantin atau pertemuan pengantin, Lutung mendampingi Dewi Ciptarasa.
Saat Prabu Pulebahas berbasa basi akan menggendong si Lutung, Lutung tersebut menerkam prabu Pulebahas sehingga terjadi perkelahian yang sengit. Akhirnya prabu Pulebahas tewas.
Adipati Kandhadhaha gusar karena Si Lutung sudah mengganggu perhelatan di Kadipaten Pasirluhur. Namun pada saat itu sang Lutung berubah wujud menjadi Pangeran Banyak Catra. Maka kagetlah sang adipati Kandhadhaha karena sang Lutung ternyata putra dari Prabu Silihwangi.
Akhirnya hubungan Dewi Ciptarasa dengan pangeran Banyak Catra direstui oleh Adipati Kandhadhaha hingga keduanya menikah dan hidup berbahagia.
TRAGEDI SABTU PAHING
Tragedi Sabtu Pahing ternyata menjadi awal berdirinya Kabupaten Banyumas, bahkan dalam perjalanan sejarah Banyumas sampai saat ini diyakini oleh sebagian warga Banyumas dan sekitarnya bahwa hari itu menjadi hari naas dan menghindari untuk bepergian jauh, mendirikan bangunan rumah, mbarang gawe (sunatan, mantu dan mbesan) juga keperluan besar lainnya seperti penyelenggaraan Pilkades dan sebagainya.
Tragedi yang sangat memilukan ini menimpa Adipati Warggohutomo I, sepulangnya dari Kasultanan Pajang. Tragedi ini menjadi ceremin betapa seorang pemimpin harus berhati-hati dalam bertindak dan tidak hanya mendengar laporan sepihak.
Seandainya Sultan Pajang, Sultan Hadiwijaya mau melakukan konfirmasi lebih dulu atas penuturan Demang Banyureka perihal status Rara Sukartiyah, putri Adipati Wirasaba yang dikatakan sudah bersuami dan tidak “suci” lagi, tentunya tidak akan terjadi peristiwa tragis seperti itu. Penuturan sepihak itulah yang akhirnya membawa petaka bagi Adipati Wirasaba. Sampai saat ini kejadian tersebut dikenal dengan “Tragedi Sabtu Pahing”. Bagi Orang Banyumas, peristiwa tragis tersebut sangat di perhatikan agar jangan sapai menimpa anak cucu dan generasi mendatang. Sebagian masyarakat juga bertindak arif untuk tidak terlalu terpaku dengan hari Sabtu Pahing sebagai hari naas, sejalan dengan penghayatan agama dan pandangan bahwa “semua hari itu baik”. Inilah kisah tragis yang menimpa Adipati Wirasaba sepulang dari Kesultanan Pajang.
Adipati Wargautama beserta para pengiringnya dalam perjalanan pulang dari Kasultanan Pajang menempuh jalan pintas yang tidak bisa dilewati umum. Itulah makanya sulit sebenarnya para Tumenggung melacak perjalanannya. Lagi pula pada kesempatan yang baik ini, sang Adipati memerlukan singgah ke beberapa Demang dan Lurah dari Kadipaten yang dilewatinya.
Disini Adipati banyak memperoleh pengalaman baru tentang pemerintahan pedesaan yang adapat diterapkan di Kabupatennya. Para Demang dan Lurah yang disinggahinya merasa sangat senang dan bangga. Banyak diantaranya yang menyampaikan tanda penghormatan berupa cindeta mata hasil kerajinan setempat.
Sementara itu, perjalanan pulang KI Adipati telah menginjak hari ke tujuh, hari Sabtu Pahing, sampai di desa Bener Distrik Ambal Kabupaten Kebumen. Menjelang shalat dhuhur Ki Adipati beserta para Pengiringnya singgah dan beristirahat di rumah salah seorang sahabatnya yang rumahnya terdiri atas rumah induk dan balai yang tidak se arah dengan rumah induk yang biasa disebut dengan “Balai Malang” (Balebapang).
Kedatangan Ki Adipati diterima seisi rumah dengan sangat senang hati. Jamuan makan siang segera dihidangkan, salah satu lauknya yaitu “Pindang Banyak” (Daging angsa yang dimasak dengan buah pucung atau kluwak). Selagi Ki Adipati beserta para pengiringnya menikmati jamuan makan siang, tiba-tiba datanglah Tumengung utusan Kanjeng Sultan (Tumenggung pertama) yang mengemban tugas untuk membunuh Ki Adipati.
Melihat Ki Adipati sedang menikmati hidangan, Tumenggung pertama tidak sampai hati untuk membunuhnya. Kuda Dawukbang (merah campur putih) kesayangan Ki Adipati yang ditambatkan dibawah pohon sawo di sisi rumah merontaronta, seolah-olah mengetahui ada firasat buruk yang akan menimpa Ki Adipati.
Firasat buru juga telah dirasakan juga oleh Ki Adipati, karena ada hal-hal aneh yang menyelimuti sekelilingnya, lebih-lebih ada seorang Tumenggung yang menuju tempat ia beristirahat. Tumenggung pertama sabar menungu sampai Ki Adipati selesai makan. Sementara itu dari kejauhan tampak olehnya seorang kawan Tumengung (Tumenggung kedua) memacu kudanya dengan cepat menuju ke arahnya sambil melambai-lambaikan tangannya seraya berseru :”Jangan bunuh……”
Maka demi tugas Kanjeng Sultan, Ki Adipati Wargoutomo I yang sedang menikmati hidangan pindang banyak itu ditikam dengan keris Pusaka Kerato Pajang. Semuan yang ada di pendopo itu geger dan gugup. Ki Adipati yang naas itu terjatuh dengan darah segar mengalir dari dadanya. Para pengiring dan pengawal tidak bisa berbuat banyak. Jeritan dan isak tangis menggema di Balemalang itu. Mereka sadar bahwa Tumenggung pembunuh itu membawa amanat Kanjeng Sultan. Melawan Tumenggung berarti melawan Sang Prabu junjungannya.
Sementara Ki Adipati Menahan sakit, para pengiring dan se isi rumah berusaha menyelamatkannya, tibalah Tumenggung kedua. Menyaksikan peristiwa berdarah yang memilukan itu hampir saja Tumenggung kedua jatuh pingsan. Ia sangat berdosa karena gagal melaksanakan tugas, walaupun ia tidak bersalah. Bukankah Tumengung kedua telah memberi isyarat dan berteriak supaya Ki Adipati Wargohutomo I dibunuh ? Mengapa ia tidak memperhatikan isyarat itu ? Atau mengapa ia menyalah artikan isyarat itu ?
Kedua Tumenggung saling berpelukan menangis, terharu dana sedih. Kepada para pengiring dan segenap keluarga tuan rumah Kedua Tumenggung iru menjelaskan duduk persoalan peristiwa yang menyedihkan itu. Ki Adipati sebenarnya tidak bersalah.Pembunuhan itu menjadi tanggung jawab Kanjeng sultan Hadiwijaya sendiri.
Sebelum menghembuskan nafas terakhir, dengan serak dan tersendat-sendat sempat meninggalkan pesan terakhir kepada keluarga (keturunan) yang ditinggalkan. “Aku…aku…tidak tahu apa dosaku kepada Kanjeng Sultan….anak cucuku jangan sampai mengalami naas seperti aku…ingat-ingat..,jangan sampai ada diantara anak cucuku yang bepergian pada hari Sabtu Pahing, apalagi naik kuda Dawuk Bang. Juga jangan makan pindang banyak (angsa) serta jangan membangun atau bertempat tinggal di rumah “Bale Malang.
Sama sekarang, pesan ini oleh orang-orag yang bersasal dari Banyumas sekalipun bukan trah Ki Adipati Wargohutomo I, terutama oleh angkatan tua, pesan ini masih sangat dipatuhi. Kalau tidak merasa terpaksa sekali, mereka tidak akan bepergian pada hari Sabtu Pahing.
Menjelang dini hari tibalah rombongan usungan jenazah di suatu pegunungan yang sebagian besar masih berupa hutan. Mereka beristirahat sambil menyalakan api unggun sekedar untuk mengurangi rasa dingin dan untuk menerangi lingkungan sekitarnya. Menjelang subuh mereka bersiap-siap melanjutkan perjalanan yang penuh duka itu. Sebagai kenang-kenangan , tempat dimana mereka beristirahat ini diberi nama “Lawang Awu”(perbatasan antara Kabupaten Banjarnegara dengan Kebumen).
Lepas Dhuhur rombongan sudah sampai di Wirasaba yang disambut dengan isak tangis para putra, para sentana, dan para kerabat dekat almarhum. Rakyat Wirasaba menyambut dengn duka nestapa. Untuk beberapa jam jenazah disemayamkan di Pendopo Agung Kabupaten untuk memberi kesempatan para kerabat dan rakyatnya menyampaikan menyampaikan ucapan bela sungkawa kepada keluarga dan penghormatan terakhir kepada almarhum.
Berdasarkan keputusan musyawarah keluarga serta para pejabat Kabupaten, almarhumah dimakamkan di Dukuh Pekiringan, Desa Klampok Kabupaten Banjarnegara, disebelah selatan sungai Serayu. Di tembok (sebelah timur) makam Ki Adipati, tertulis riwayat singkat wafatnya Ki Adipati dalam bahasa jawa sebagai berikut :”Ki Adipati Wargohutomo I Ing Wirasabane kaleres dinten Setu Pahing dipun sedani utusanipun Sultan Pajang (1548 – 1586), pinuju lenggah wonten Bale Malang ing Dsun Bener, Distrik Ambal (Kebumen) jalaran kadakwa kalepatan. Pandakwa wau saking seling serap.Ki Adpati kagantos putra mantu Joko Kaiman ngagem asma Wargohutomo II ketelah Ki Adipati Mrapat (Sumareh ng Dawuhan)”.
Maknanya dalam bahasa Indonesia :”KI Aipati Wargohutomo I, pada hari Sabtu Pahing dibunuh oleh utusan Stan Pajang (Sulatan Hadiwijaya) yang memerintah antara tahun 1548 -1586, ketika seang berada di Balemalang di desa Bener Kawedanan Ambal Kabupaten Kebumen, karena dituduh telah berbuat salah. Tuduhan itu karena salah paham. Ki Adupati diganti oleh putr menantunya Djoko Kaiman yang juga bernama Wargohutomo II, yang terkenal dengan sebutan Ki Adipati Mrapat (dimakamkan di Dawuhan).
Makam Ki Wargohutomo I kini telah dipugar oleh Pemda Kabupaten Banjarnegara dan para pencintanya, disekitarnya telah dajadikan pekuburan umum yang dikeramatkan banyak orang. Pada setiap malam Selasa dan Jumat Kliwon banyak pengunjung yang bersemedi (nyepi) di dalam makam dengan berbagai ragam permohonan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Makam Ki Adipati Wargohutomo I di tatah Wirsaba, tetapi secara administratif Klampok, Kabupaten Banjarnegara, tapatnya di desa Pekiringan. Makam yang dikeramatkan ini juga banyak dikunjungi oleh pezairah yang ingin mendapakan berkan dan tujuan lain pada hari tertentu. Keramaian makam ini dapat dilihat dari mengunungnya kemenyan yang tekah dibakar.
Itulah cerita yang menjadi awal berdirinya Kabupaten Banyumas, semoga dapat bermanfat bagi para pembacanya, serta dijadikan pelajaran/hikmah dari peristiwa tersebut.
PENDAPA SI PANJI KAB. BANYUMAS
Masyarakat Banyumas sangat mengenal Si Panji, Pendapa Kabupaten yang sampai saat ini masih kokoh berdiri megah di kota Purwokerto dan menjadi ‘’ Pujer” (pusat) Pemerintahan Kabupaten Banyumas. Hingga ini Pendapa Si Panji masih dikeramatkan, khususnya pada salah satu tiang sebelah barat yaitu soko guru (tengah) selalu diberi sesaji agar semua kegiatan yang belangung di pendapa dapat berjalan lancer tanpa ada gangguan.
Kisah-kisah misteri sering terdengar dari pendapa yang diboyong dari kota Banyumas ke Purwokrto dengan memutar ke Pantura, tidak melewati (nglangkahi) Sungai Serayu.
Kabupataen Banyumas didirikan pada tahun 1852 ole Kyai Adipati Wargautama II yang juga disebut sebagai Bupati Banyumas I dan dikenal sebagai Kyai Adipati Mrapat. Dalam perjalanan sejarah, Adipati Yudongoro (Bupati Banyumas VII / 1708 – 1743) memindahkan pusat Kabupaten Banyumas agak ke sebelah timur dengan sekaligus membangun rumah Kabupaten berikut pendapa yang dikenal dengan Pendapa Si Panji.
Dalam sejarahnya, pendapa yang legendaries ini sering memunculkan keanehan dan cerita mistis, misalnya pada tanggal 21-23 Februari 1861, kota Banyumas dilanda banjir banding (Blabur Banyumas)karena meluapnya Sungai Serayu. Puluhan pengunsi berusaha menyelamatkan diri dengan naik ke atas (atap) Pendapa Si Panji. Setelah air bah surut, ternyata pendapa ini tidak mengalami kerusakan atau perubahan sedikitpun pada keempat tiangnya (saka guru). Posisi pendapa juga tidak bergeser sedikitpun padahal bangunan disekitarnya roboh karena diterjang banjir setinggi lebih dari 3,5 meter.
Misteri lain, ketika pendapa itu akan dibangun, semua sesepuh dan atokoh masyarakay Banyumas supaya menyumbangkan calon saka guru pendapa maupun bahan bangnan yang lain. Semua tokoh masyarakat telah memenuhi permintaan sang Adipati, kecuali Ki Ageng Somawangi, sehinga ia dipangil untuk menghadap Adipati Yudonegoro II untuk diminai keterangannya. Ki Ageng Somawangi menghadap memenuhi pangilan sang Adipati. Untuk menebus kesalahannya, pada saat itu pula ia langsung menyerahkan saka guru pendapa yang ia ciptakan dari “tatal” dan pontongan-potongan nkayunyang berserakan disekitar komplek pembangunan itu. Hal itu tidak disambut baik oleh sang Adipati, bahkan diangap suatu perbuatan yang “pamer kadigdayan”. Akibatnya ia malah dituduh akan “menjongkeng kawibawan” (mengambl alih kekuasaan) Sang Adipati.
Atas tuduhan yang kurang adil itu, Ki Ageng Somawangi marah, segera meningalkan Kadipaten tanpa pamit. Sang Adipati sangat tersingung dan menyuruh prajuritnya untuk menangkap Ki Ageng Somawangi yang dianggap “ngungkak krama” (membangkang) itu. Namun karena kesaktiannya, ia dapat lolos dari upaya penangkapan. Konon tongkat saktinya ditancapkan di suatu tempat dan berubah wujud menyerupai Ki Ageng Somawangi. Sontak para prajurit menganiaya Ki Ageng Tiruan. Ki Ageng Somawangi melanjutakan pelarian menyimpang dari jalan raya, menerobos melalui jalan setapak menuju padepokannya yang sekarang dikenal dengan Desa Somawangi Kecamatan Mandiraja Kabpaten Banjarnegara. Desa dimana Ki geng Somawangi menerobos untuk menghindari kejaran Prajurit Banyumas, kenudian diberi nama “Panerusan”. Dengan ddemikian diketahui bahwa ada saaat awal pembangunan Pendopo Si Panji sempat menimbulkan ontranonran tokoh Banyumas itu.
SAKA GURU KERAMAT
Cerita lain dari cuplikan “Babad Banyumas” menyebutkan bawha salah satu tiang utama (saka guru) pendapa Si Panji yan dikeramatkan, berasal dari hutan belantara di hulu Sungai Serayu. Dari cerita yang berkembang, kayu yang telah digunakan sebagai ting itu ingin kebalilagi ke hutan yang sangat angker itu. Sampai saat ini saka guru yang masih kokoh itu katanya ada penunggunya berupa sosok ular dan seorang kakek berjenggot panjang.
Setelah ada pengabunyan Kabupaten Banyumas dengan Kabupaten Purwokerto tahun 1936 atau prakarsa Adipati Arya Sudjiman Gandasubrata (Bupai Banyumas XX), pada Bulan Janauari 1937 pendpa Si Panji dipndahkan dari Banumas ke Purwokerto. Berdasarkan uara gaib dan petunjuk dari para sesepuh Banyumas dan untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, maka pemindahan pendapa I Panji yang keramat itu tidak melewati Sungai Serayu, tetapi melewati pantai utara Jawa (Pantura), Semarang ke barat, Bumiayu, Ajibarang, kemudian sampai ke Purwokerto.
Ada beberapa argumentasi mengapa pendopo Si Panji dipindah ke Purwokerto. Ada sasmita bahwa kelak kota Purwokerto akan maju pesat dan menjadi kota perdagangan dan pusat pemerintahan. Pemindahan pendopo sbagai symbol pengakuan betapa kota Banyumas sulit bekembang, karena dak ada jalur kereta api, lahan kota sempit, dan akses ke lar tidak berkembang. Maka saat itu pun kota Banumas sepi dan sulit berkembang.Hal ini membuktikan apa yang diprograkan oleh Bupati Sdjiman Gandasubrata itu benar.
Untuk mengenang kebesaran pendapa Si Panji, Pemda Kabpaten Banyumas telah membangun “dulpilkat” pendpa di bekas bersdirinya Pendapa Si Panji. Namun tidak sesuai dengn aslinya bahkan terkesan lebih mewah dari pendapa Si Panji yang ada di Purwokerto.
Dari rangkaian sejarah, ternyata sejak pebangunannya sudah ada aura mistis dan pertentangan tokoh, pernah menjadi pengungsian puluhan penduduk yang naik ke atas pendapa dan tidak ada kerusakan saat banjir banding. Perjalanan sejarah selanjutnya pendapa yang keramat ini tidak mau melewati Sungai Serayu dan di arak lewat Semarang (Pantura) smapai ke kota Purwokerto. Suatu hal aneh yang samapai saat ini belum terkuak adalah alas an mengapa pemindahanyya tidak boleh melewati Sungai Serayu, tetapi harus melewati ratusan kilometer memutar Jawa Tengah.
BANJIR BANDANG MELANDA KOTA BANYUMAS
Masyarakat Banyumas yang kebetulan lewat dan singah di komplek Pondok Pesantren GUPPI Bayumas akan terkesima jika melihat “Prasasti” bani banding yang melanda Banyumas pata tanggal 21 – 23 Februari 1861. Prasasti yang ditempelkan di tembok bagian selatan gedung yang persis di pintu masuk kompleks mengunakan bahasa Belanda. Letaknya persis mengambarkan ketinggian air bah yang sampai ke langit-langit gedung tinginya sekitar 3,5 meter. Saat itu gedung masih dipakai untuk kantor Karesidenan Banyumas. Pasasti yang terbuat dari marmer tersebut menjadi saksi sejarah satu-satunya yang menerankan bahwa kota Banyumas pernah dlanda banjir besar. Bahkan para sesepuh kala itu sudah mendapat firasat yang digambarkan dengan sasmita, terkenal dengan nama sasmita “Bethik mangan manggar”.
Semula semua orang tidak dapat menafsirkan apa makna dibalik kata-kata itu. Sesudah bencana banjirterjadi, barulah orang mengetahui makna yang tersirat dalam ucapan simbolik itu. “Bethik” adalah nama jenis ikan air tawar yang banyak hidup si sungai Serayu, sedangkan “Manggar” adalah adalah bunga pohon kelapa.
Pohon kelapa yang sudah berumur kurang lebih 7 tahun kira-kira tinginya sudah mencapai 3-4 meter, biasanya sudah bermanggar. Jadi “Bethik mangan manggar” (Ikan bethik makan manggar) memberi lambang bahwa ikan yang hidup di air sungai dapat mencpai manggar yang berarti puncak pohon kelapa. Itu menyiratkan bahwa akan terjadi banjir yang cukup besar.
Pasca terjadi banjir besar, Kanjeng Raden Adipati Cakranegara I berhasil mengatasi kesulitan rakyat akibat bencana banjir, sehingga mendapat anugerah berupa Bintang “Ridder Ode Eikken Kroon” dari pemerintah Belanda. Sjak saat itu beliau juga mendapat julukan Kanjeng Ridder.
Banjir atau blabur Banyumas yang menjadi rangkaian sejarah Banyumas tidak akan terulang lagi, jika masyarakatnya sadar akan pentingnya penghijauan dan pelestarian alam. Jika kita lihat konisi saat ini, sepertinya banji besar tiak akan terlang lagi karena factor perubahan alam. Sungai Serayu tidak garang lagi, ada bangunan bendungan dan irigasi yang bisa mengatur alian air.
Kejayaan kota Banyumas dapat dihidupkan kembali dengan mendirikan sekolah/perguruan tinggi, pusat perbelanjaan, taman budaya, serta perbaikan inra struktur. Program pembangunan tidak hanya dipusatkan di kota Purwokerto saja, tetapi kota Banyumas “disleberi” dana yang cukup dan para infestor mau menanamkan modalnya di kota yang bersejarah tersebut.
KISAH CURUG CIPENDOK
Konon dahulu akala di lereng gunung Slamet yang indah terdapat sebuah pousat pemearintahan setingkat Kawedanan. Rakyatnya ahidup aman dan tenteram, disamping mempunyai jiwa gotong-royong yang tinggi sebagai ciri khas masyarakat Banyumas. Sang penguasa pusat pemerintahan tersebut bernama Dipakesuma. Karena kearifan dan kebijakan sang Wedana, dia disegani oleh para wedana tetangga dan masyarakat di daerah Ajibarang.
Suatu hari sang Wedana memanggil Hulubalang dan orang-orang kepercayaan nyanuntuk membicarakann keinginannya untuk menjadi Bupati Purbalingga atau sekitarnya. Setelah menyerahkan mandat penuh pemerintahan kepada wakilnya untauki semeantara, pergilah sang Wedana untuk bertapa agarb maksudny terkabul.
Pada suatu hari sang Wedana ditremui oleh makhluk halus sebagai pertanda dalam bertapa akan membuahkan hasil untuk mencapai cita-citanya. Banyak versi yang mentnyebutkan bahwa makhluk halus itu berwujud peri menyerupai putri cantik sebagai perlambang dipenuhinya keinginan sang Wedana.
Dari pertemuan tersebut ada beberapa kejadian aneh yang menyelimuti sang Wedana, antara lain sering berbicara sendiri yang kemungkinan tengah terjadi komunikasi antara dirinya dengan Sang Peri. Bahkan para pengikut sang Wedana terheran-heran mengapa Sang Wedana kelihatan aneh.
Laku tapa sang wedana terus berlanjut . Setelah menempuh perjalanan ke utara ke arah di lereng gunung Slamet, tibalah dia di daerah Pekowen dekat curug. Sang Wedana bertapa di kawasan yang sepi dan penuh misteri itu. Karena kemantapan dan ketekunannya dlam bertapa, dia amendapat petunjuk dari dewata agar pindah lagi bertapa ke daerah Sudem.
Pada suatu hari Sang Wedana memangil Hulubalang dan orang-orang kepercayaannya untuk menjadi penguasa yang lebih tinggi, sekaligus memohon doa restu kepada yang di undang.
Suatu hari Sang Wedana mendapat wangsit, kalo cita-citanya ingin terkabul ia harus menikahi Putri Peri cantik penguasa Cipendok. Tetapi antara Dipakesuma dan Putri Peri ini tidak bisa terjadi perkawinan, karena alam kedua insan ini berbeda. Maka satu-satunya jalan yang ditempuh, putri peri itu masuk/Mnjing ke raga Padange (tukang masak nasi). Sang Wedana menikah dengan Padange yang sudah dimasuki arweah Putri Peri dari Gunung Slamet.
Setelah menikah, Sang Wedana dapat menaiki tahta sebagai Bupati. Kisaqh cinta sang Wedana dengan Putri Peri dari Cipendok ini memang menarik, tetapi mungkin hanya dongeng yang berkembang layaknya kisah-kisah misteri lainnya yang banyak terdapat di kawasan Gunung Slamet.
Legenda tersebut ternyata banyak versinya, tanpa menyinggung perasaan para leluhur dan trah sang Wedana. Itulah kenyataan cerita yang berkembang bahwa Sang Wedana menjalin asmara dengan Putri Peri yang rupawan. Apakah ini merupakan “sanepo”, kita belum mengetahui scara pasti, karena legenda ini berkembang dari mulut ke mulut dan turun temurun dari generasi ke generasi.
Sampai saat ini belum diketahui secara pasti apa arti nama Cipendok, tetapi yang jelas disekitar kawasan ini banyak nama yang didahului kata “Ci” seperti Cilongok, Cihonje, Cidora, Cikaka, Cikembulan dan lain-lain. Kawasan Ciupendok kini makin dikenal dan menjadi salah satu obyek wisata Kabupaten Banyumas.
KESENIAN TRADISIONAL BEGALAN
Begalan atau rampok yang terdengar menyeramkan, dalam kebudayaan tradisional Banyumasan hanyalah merupakan nama kesenian yang bukan hanya menyajikan hiburan semata, tetapi sudah menjadi “sesaji” ritual bagi masyarakat banuumas yang mempercayainya. Kesenian ini tumbuh di wilayah eks Karesidenan Banyumas (Banyumas, Purbalingga, Banjarnrgara, dan Cilacap). Masyarakat Banyumas yang kini nbermukim di Jakarta, Semarang, Surabaya, dan kota0kota besar lainnya masih mempercayai begalan sebagai pelengkap upacara pernikahan.
Begalan umumnya dilaksanakan oleh pihak orang tua Pengantin putri yang baru pertama kali melaksanakan “mbarang gawe” (hajatan). Maka tidak heran jika group-grpu kesenian Begalan lebih sering pentas diluar Banyumas dari pada di wilayah Banyumas sendiri. Seni begalan sudah ada sejak ratusan tahun silam. Sejarah seni begalan yang berakar dari budaya Banyumasan telah mengalami pasang surut, bahkan generasi muda sekarang sudah banyak yang tidak mengerti atau buta sama sekali dwengan kesenian begalan.
Ada beberapa versi seni begalan namun yang banyak ditulis dalam sejarah dan riwayat Banyumas menyatakan bahwa saeni begalan ada sejak jaman Adipati Wirasaba yang ketika itu mengawinkan anak (putri) yang bernama Dewi Sukesi dengan putri sulung dari dari adipati Banyumas yang berbama Pangeran Tirtakencana, ada yang menyebut terjadi pada abad ke 19.
Dari perkembangan dan pasang surutnya seni begalan, diketahui bahwa begalan adalah suatu jenis kesenian yang merupakan rangkaian upacara perkawinan di daerah Banyumas dan sekitarnya. Biasanya dilakukan apabila pasangan pengantin terdiri dari anak bungsu dan anak sulung, terutama kalau yang bungsu atau sulung dari piohak perempuan. Menurut kepercayaan masyarakat banyumas, seni begalan merupakan syarat “krenah” yangh harus dilakukan apabila menjodohkan anaknya, merupkan syarat yang penting.
Sebagian masyarakat Banyumas juga ada yang berpendirian, tidak setiap mengawinkan anaknya harus menggelar seni begalan. Ada keyakinan begalan juga mirip ruwatan. Seni begalan bukan semata-mata merupakan suatu hiburan atau pertunjukan belaka sebab dalam aksi dan dialognya berisi ajaran atau tuntunan dan ular-ular yang ditujukan kepada mempelai berdua. Sarana begalan seperti ilir, ukusan, kendil, padi, serta berbagai peralatan dapur lainnya mengandung makna tertentu. Biasanya para pelaku begalan menjelaskan makna peralayan begalan satu-persatu, yang semuanya mengandung permohonan/doa kepada sang maha kuasa agar mempelai berdua dapat mengarungi bahtera rumah tangga dengan sakinah warohmah dan mawahdah yang dalam bahasa begalan disebut keluarga langgeng “Kaya Mimi lan Mintuna, nganti Kaken-kaken Ninen-ninen”.
Pada mulanya pelaku seni begalan tidak dibayar, bahkan lebih cenderung menolong, semata-mata merupakan tradisi ruwatan agar upacara pernikahan dapat berjalan lancar. Keturunan warga Banyumas yang ada diluar daerah bahkan harus bersusah payah mencari group begalan yang berlualitas.. Dari kbiasaan ditanggap inilah yang kemudian seni begalan masuk ke rahan entertainment dan memasang tarif yang cukup besar dalam setiap pementasan.
Begalan bewrasala dari kata begal dan akhiran an, artinya perampasan atau tindak perampokan di tengah jalan. Maka kesenian begalan adalah suatu atraksi yang menggambarkan seseorang yang sedang membawa barang bawaan kebutuhan hidup, kemudian dirampok di tengah jalan. Dengan diiringi genhing-gendhing khas Banyumasan mereaka melakukan diaek serta pesan moral yang diselingi banyolan, sindiran, sekaligus petuah kepada para penontonnya. Gendhing yang dipilih biasanya bernada dinamis dana suasana riang untuk menghidupkan suasana.
Ketika suara genghing berhenti, mulailah para pembegal memperkenalkan diri dan terjadi dialog. Seperti layaknya tukang begal, maka ada adegan pertengkaran dan adu mulut, sambil menjelaskan arti dan makna barang bawaan yang semuanya dikemas dalam “brenong kepang”(semacam pikulan). Masyarakat yang mernonton biasanya mengharapkan momentum berebut benda yang ada di brenong kepang. Mereka percaya jika dapat merebut/mendapatkan benda-benda-begalan akan mendapat berkah.
Dalam perkembangannya seni begalan dianggap bertentangan dengan agama (Islam), karena jika tujuannya hanya untuk mengusir roh jahat makalebih afdol jika cukup dengan membaca doa bersama agar mempelai berdua dapat selamat dan bahagia.
Perkembangan lebih lanjut, begalansemakin surut peminatnya seiring dengan perubahan jaman. Untuk melestarikan seni tradisional ini Dinas Kebudayaan dan Pariwisata belum lama ini telahg menyelenggarakan seminar tentang begalan. Dinbudpar juga terus menggali, melestarikan, mengembangkan dan memberdayakan potensi pariwisata dan kebudayaan dalam rangka mewujudkan Banyumas sebagai kawasan cagar budaya, agar generasi muda dapat lebih tertarik memahami seni begalan, tidak hanya sebatas “krenah” dalam upacara pernikahan.
KISAH BATURRADEN
Baturraden sudah dikenal sebagi tempat pariwiata dan tempat peristirahatan sejah tahun 1928. Pada waktu iatu banyak pejabat dn staf Pabrik Gula dari Puworejo, Kalibagor, Sumpiuh Purbalingga dan Klampok membangun rumah peristirahatan di kawasan Baturraden. Berdirinya komlek perumahan pribadi para Tuan Besar tersebu mendorong perkembangan Baturraden sebagai daerah wisata sekaligus tempat peristirahatan yang nyaman.
Satu peningalan yang masih utuh sampai sekarang adalah kompleks Induk Taman Ternak Baturraden (Sekarang dikenal BPTHMT) yang didirikan oleh warga Belanda, Tuan J.C Balgoy. Perkembangan sanjutnyalokasi tersebut kini bernama Balai Pembibitan Ternak dan Hijauan Makanan Ternak, terutama ternak sapi unggul milik Dirjen Peternakan, Departemen Pertanian.
Baturrraden sejak semula memang memiliki daya tarik. Walaupun pada masa revolusi baturaden telah di bumi hanguskan, tetapi kenangan sebagai tempat rekreasi tetap melekat di benak masyarakat Banyumas. Pada aat liburan sekolah, banyak anak-anak atang ke abaturaden untuk melihat Taman Ternak Baturraden yang sekitar tahun 1950 koleksinya masih lengkap dengan ternak sapi, domba gibas, ayam ras, babi dan sapi perah.
Karena daya tarik Baturraden yang menawan dan cocok untuk rekreasi, maka pada pahun 1952 timbul pemikiran dari Pemda Kabupaten Banyumas untuk menhidupkan Baturraden sebagai tempat brekreasi dan tempat peristirahatan. Perkembangan selanjutnya baru terwujud pada tahun 1967, diprakaarsai oleh Bupati Banyumas pada saat itu, Almarhum Soekarno Agung.
Pemda Kabupaten Banyumas pada saat itu mengumpulkan okoh-tokoh masyarakat dari berbagai bidang dan keahlian untuk ber rembug usaha menghidupkan daerah wisata Baturraden.
1. Gunung Slamet
Obyek wisata Baturraden yang merupakan tempat wisata pegunungan juga dikelilingi oleh hutan tropis yang masih asli dan terpelihara dengan baik. Lokasinga di lereng Gunung Slamet sebelah selatan. Gunung slamet tainginya kurang lebih 3.428 M membuat suhu Baaturraden sejuk yaitu antara 18 – 25 drajat celcius dengan curah hujan antara 5.000 mm – 8.000 mm.
Fasilitas yang tersedia saat ini meliputi tempat penginapan (hotel, villa, moel dan losmen), lapangan tennis, kolam renang, permainan anak, restaurant, rumah makan, tempat parkir, pemandian air hangat yang berkhasiat menyembuhkan penyakit kulit.
Fasilitas pendukung lainnya adalah kios cindera mata/souvenir, penjalan tanaman hias, angkutan wisata, biro perjalanan, tepepon umum/wartel, warnet, dan jalur hiking mengelilingi hutan wisata. Sebelah timur lokawisata tersedia tempat erkemahan Wana Wisata, yang dikelola oleh pihal Perhutani Banyumas.
Gunung Slamet merupakan gunung berapi yang masih aktif yang pada bulan April (2009) kemarin sempat ber akrtivitas dengan status Siaga namun belum membahayakan. Letaknya persis di tengah-tengah Pulai Jawa, oleh masuarakat Jawa Tengah diberi julukan “Pakunya” Pulau Jawa. Gunung Slamet konon menyimpan banyak misteri, hutannya masih perawan dan kaya akan erbagai jenis flora dan fauna, serta merupakan sumber kehidupan dimana amengalirkan air untuk irigasi sawah di banyumas dan sekitarnya.-, sehingga dijadikan salah satu lambang Daerah Kabupaten Banyumas. Jika dikaitkan dengan tembang kroncong :Ditepinya sungai Serayu”, maka gunung Samet berkaitan erat dengan kemakmuran masyarakat Banyumas.
Para pencinta alam dan pendaki gunung tidak akan melewatkan untuk mendaki gunung Slamet sampai pada puncaknya. Karena dari puncak gunung inilah dapaat disaksikan hamaparan wilayah Banyumas sertra laut selatan/Samudra Indonesia.
2. Asal usul Baturraden
Ada beberapa versi asal mula Baturraden. Namun akan di ambil kisah yang berkaitan dengan legenda Kadipaten Kutaliman, yang dulu terletak kurang lebih 5 Km sebelah Barat Daya Baturraden.
Dikisahkan jaman dulu kala Adipati Kutaliman mempunyai empat orang putri. Salah seorang putrinya ternyata jatuh cinta kepada seorang Gamel (pembantu) yang bertugas mengurusi kudanya Sang Adipati. Mendengar berita cinta gelap yang tidak setara tersebut, murkalah Sang Adipati sehingga keduanya diusir dari Kadipaten tersebut. Mereka ahirnya mengembara.
Dalam pengmbaraan, Sang Putri melahirkan seorang bayi putra di tepi sebuah sungai, yang dikemudian sungai tersebut dinamakan “Kaliputra”, terletak 3 Km sebelah utara Desa Kutaliman. Dalam pengembnaraan selanjutnya mereka menemukan suatu tempat yang indah mempesona dan udaranya sejuk di lereng Gunung Slamet. Mereka menetap di kawasan tersebut dan mendiriklan sebuah padepokan yang diberi nama Batur Raden, dari perpaduan antara Batur (abdi yaitu Gamel) dan Raden (Sang Putri yang berdarah Bangsawan putrinya Adipati). Kemudian banyak yang menyebut “Baturaden” ataupun “baturraden” dengan dua huruf “r”.
Ada versi lain yang menarik sekitar nama baturraden yaitu kisah perjalanan Syeh Maulana Maghribi di kota Gresik (Jawa Timur). Pada suatu ketika Syeh maulana Maghribi melihat cahaya terang disebelah barat. Kemudian beliau mengembara untuk mencari cahaya yersebut sambil menyebar agama Islam, ditemani sahabat karibnya yang bernama Haji Datuk. Dalam pengembaraannya, Syeh Maulana Maghribi berganti nama menjadi Mbah Atas Angin.
Yang memancarkan cahaya tadi ternyata seorang pertapa yang kemudian memeluk agama Islam dan menjadi pengikut Syeh Maulana Maghribi, dan diberi nama Syeh Djambukarang. Nama tersebut di ambil karena dalam bertapa ia bersandaran pohon jambu dan dikelilingi batu-batu karang. Dalam perjalanan waktu, Mbah Atas Angin kemudian menjadi menantu Syeh Jambukarang.
Pada suatu waktu konon Syeh Maulana Maghribi menderita penyakit gatal-gatal atau buduk yang tidak kunjung sembuh. Atas petunjuk wisik ia akan sembuh jika berendam di air panas yang mengalir dari Pancuran Pitu di Gunung Gora. Belakangan diketahui bahwa air panas tersebut bisa menyembuhkan karena mengandung belerang, zat penyembuh penyakit gatal.
Karena merasa bersyukur sembuh dari penyekit gatal itulah maka Gunung Gora alalu diganti nama menjadi Gunung Slamet. Samapaia sekarang pancuran pitu banyak dikunjungi orang untuk kepentingan berobat dari penyakit gatal.
Selama Syeh Maulana Maghribi melaksanakan pengobatan di pancuran pitu, Sahabat setianya, Haji Datuk dengan setia menunggu. Tempat itu lalu diberi nama “Rusuludi” yang berarti batur yang Adi, kemudian banyak yang menyebut Baturaden. Sampai sekarang tempat tersebut masih dikeramatkan dan banyak di zirahi orang khususnya pada malan Selasa dan Jumat Kliwon. Yang lebih unik lagi, banyak pasangan pengantin dari daerah utara (Bumiayu, Tegal dan sekitarnya), denganm masih mengenakan busana pengantin lengkap mengadakan kirab pesiar ke Baturraden.
Nama Baturraden lebih mencuat pada tahunn 1990, karena dijadikan ajang penyelenggaraan Pekan Pariwisata Jawa Tengah (PPJT) III/Tahun 1990. PPJT merupakan ajang untuk mepromosikan kepsariwisataan daerah Jawa Tengah dalam rangka menggali potensi emas merahguna mendukung pembangunan nasional umumnya dan pembangunan daerah Jawa Tengah Khususnya.
Bagi Kabupaten Banyumas, PPJT merupakan momen yang sangat baik dalam rangka memperkenalkan obyek wisata Banyumas, khususnya Baturraden agar lebih dikenal lagi. PPJT juga dijadikan titik awal pembangunan kawasan Baturraden dalam rangka menuju kawasan wisata yang menyenangkan dan berwawasan lingkungan dengan tetap mempertahankan sebagai obyek wisata alam yang sangat menarik.
MASKOT BAWOR
CERMIN WATAK ORANG BANYUMAS
Masyarakat wilayah eks Karesidenan Banyumas sangat mengenal sosok punakaaawan yang bernama Bawor, anak Ki Lurah Semar dalam cerita pewayangan. Diluar Banyumas sosok ini bernama Bagong.
Watak sosok Bawor dikenal cablaka (terus terang), jujur, lugu, saru, tapi sangat setia pada majikannya, sehingga sebagian besar Wong Banyumas senang dan cocok jika Bawor menjadi “Maskot” sekaligus mencerminkan simbol “Wong cilik” mesipun mempunyai sifat jelek yaitu “Clamit”(suka minta-minta) tetapi terus terang dan tidak munafik, kalau ya mengatakan ya dan kalau tidak mengatakan tidak.
Maskot (semacam azimat) tidak prlu dituangkan dalam Perda ATAU Surat Keputusan Bupati, karena ia lahir dari kemauan masyarakat Banyumas. Sosok Bawor juga menjadi logo resmi setiap kali ada event besar di Kabupaten Banyumas seperti pada kejuaraan KRAP (Kejuaraan Renang Antar Perkumpulan) tingkat Nasional pada tahun 1990, Klegiatan Seminar Tingkat Nasional sampai hiasan lampu besar di Purbalingga, menggunakan maskot Bawor.
Sosialisasi sosok Bawor sebagai maskot Kabupaten Banyumas bermula saat Bapak Joko Sudantoko menjabat Bupati tahun 1988 – 1998. Lewat otak-atik bagian Humas Protokoler Setda Kabupaten Banyumas yang secara iseng menyodorkan logo untuk spanduk dan penerbitan buku Hari Jadi Kabupaten Banyumas serta berbagai selebaran yang memasang gambar bawor.
Ternyata Bapak Joko Sudantoko berkenan dan sering mengkampanyekan sosok bawor yang cablaka cocok dengan watak Wong Banyumas. Sehingga sejak tahun 1989 setiap ada spanduk, penerbitan buku, atau selebaran selalu mencantumkan Bawor (pada saat itu belum di plot sebagai maskot), tetapi kemudian Pemda Banyumas dan masyarakat sering memakai sosok bawor dalam aneka kegiatan/ enent penting. Tetapi tidak ada SK atau Perda yang menetapkan bawor sebagai maskot Weong Banyumas. Jadi sekiranya ada yang keberatan mengapa harus bawor, Bagian Humas Setrda dengan enteng menjawab itu bukan maskot resmi dan tidak ada dasar hukumnya, hanya spontanitas yang sudak memasyarakat.
Ada warga yang mengusulkan supata tokoh bawor diganti dengan Janoko (Arjuna) atau Bima (Werkudara) agar lebih pas dengan motto Banyumas yaitu SATRIYA. Itipun masih ada yang menyanggah karena sosok Janoko (Arjuna) mempunyai watak “thukmis” (mata keranjang)
Motto SATRIA
Sosok bawor yang sering memakai asesoris kalung dileher yang bertuliskan SATRIA, tidak ada hubungannya dengan filosofis Motto Sejahtera, Adil, Tertib, Rapi, Indah dan Aman. Masyarakat memaklumi itu hanya asesoris “iseng” yang tidak terkontrol pada saat gambar diluncurkan pertama kali. Karena sudah terlanjur memasyarakat, maka kepada pihak yang berwenang atau Bagian Humas Kabuapaten Banyumas untuk merefisi jika masih ada maskot bawor yang memakai kalung bertuliskan SATRIA.
Aspek filosofis SATRIA, merupakan perwujudan sikap mental seseorang yang bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Menurut kamus umum Bahasa Indonesia (WJS. Purwodarminto) terbitan Balai Pustaka 1961, disebutkan bahwa orang yang mempunyai watak Satria adalah orang yang punya sikap mental baik, jujur dan gagah berani. Sikap metal Satria dapat dijabarkan sebagai berikut :
- Baik hati, merupakan perasaan yang paling dalam dari seseorang yang digambarkan sering menyentuh sampai ke relung hati. Sifat baik hati merupakan perwujudan dari ketaqwaan terhadap Tuhan YME. Ia akan selalu berbuat baik walau tanpa ada orang lain mengetahuinya.
- Jujur, setiap orang yang mempunyai budi pekerti luhur tentu akan selalu berbuat jujur. Orang yang berbudi pekerti luhur, disiplin dan bertanggung jawab akan selalu bertindak jujur dengan segala tindakannya.
- Gagah berani, hanya dimiliki oleh orang yang senantiasa bekerja keras dan tangguh dalam segala kondisi dan situasi apapun. Disamping itu juga memiliki jiwa kemandirian , cerdas dan trampil serta sehat jasmanim dan rohani.
Sifat masyarakat Banyumas yang berani mengemukakan segala sesuatu sebagaiamana adanya, sering disebut sebagai CABLAKA yang artinya berani mengemukakan yang benar itu benar dan yang salah itu salah, yang buruk itu buruk dan yang baik itu baik. Dengan demikian peningkatan kulitas warga Banyumas yang ingin dicapai adalah identik dengan sikap mental SATRIA. Manuisa yang berjiwa SATRIA adalah manausia yang berkulitas dan yang mempunyai semangat SATRIA.
Akhirnya terserah kepada Wong Banyumas dan para pengambil keputusan Pemda Banyumas, apakah sudah pas jika sosok Bawor mengenakan kalung berhuruf SATRIA. Pro kontra maskot Bawor tidak perlu diperpanjang karena sudah jelas bahwa maskot tersebut tidak ada dasar hukumnya.
0 Response to "Cerita Banyumasan"
Post a Comment